
Karanganyar- Ganjar menuturkan, bagaimana ayahnya S Parmudji yang hanya seorang polisi berpangkat rendah harus menghidupi istri dan enam anaknya. Ibunda Ganjar, Sri Suparni, bahkan juga membantu ekonomi keluarganya dengan berjualan kelontong dan bahan bakar minyak (BBM) eceran.
“Waktu kecil saya bantu jualan bensin, ‘kulakan’ angkat jeriken, kalau lebaran ‘lek-lekan’ (begadang) sama kakak saya jaga warung,” kenang Ganjar Pranowo.
Satu hal yang Ganjar rindukan dari masa kecil adalah berangkat sekolah dasar bersama teman-temannya. “Kalau berangkat sekolah itu saling ‘ngampiri’, ‘nyeker’ bareng karena gak punya sepatu,” ujarnya.
Kenangan pahit juga membekas di hati orang nomor satu di Provinsi Jateng itu ketika keluarganya terusir dari rumah yang ditinggalinya. Ganjar menceritakan, rumah masa kecil di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, harus dijual dan ayahanda sepakat dengan pembeli rumah bahwa keluarganya masih diizinkan menempati sementara sampai mendapat rumah kontrakan.
Kendati demikian, pada suatu malam si pembeli rumah meminta keluarga Ganjar Pranowo untuk segera pindah. Meski kesepakatan sebelumnya telah dilanggar, namun ayahanda Ganjar mengalah sehingga semalaman hingga subuh pergi mencari rumah kontrakan, hingga akhirnya terpaksa tinggal di sebuah rumah yang bersebelahan dengan pabrik gamping.